Agama adalah Candu Masyarakat

Ghosting Behavior and Hurted Feelings (Perilaku Ghosting dan Perasaan Terluka)


 

    


Saat ini banyak anak muda yang menggunakan istilah untuk menggambarkan situasi atau perasaan terkini. Kita mengetahui bahwa perkembangan bahasa dipengaruhi oleh perkembangan teknologi informasi yang semakin modern. Budaya penggunaan bahasa tidak terlepas dari aktivitas yang dilakukan oleh masyarakat dan dipengaruhi oleh perkembangan masyarakat internasional. Salah satu kata yang sering kita dengar dan lihat pengguanaannya adalah “Ghosting”. Kata ini apabila kita telusuri lebih lanjut berasal dari bahasa inggris ghost yang berarti hantu, sehingga ghosting dapat diartikan sebagai tindakan menghantui.

Perilaku ghosting sering kali terjadi pada suatu hubungan asmara antar individu, namun tidak jarang juga perilaku ini terjadi diluar dari suatu hubungan asmara. Hubungan yang terjalin tersebut dapat dikatakan memiliki indikasi ghosting apabila salah satu dari individu yang terlibat dalam hubungan tersebut tiba-tiba hilang dan tidak menunjukkan eksistensinya kepada pasangan/seseorang hingga beberapa waktu.

Seseorang yang menjadi pelaku ghosting berusaha untuk menghilangkan eksistensi dirinya dari pasangan/seseorang, hingga pada waktu tertentu pelaku ghosting akan kembali hadir dalam hubungan tersebut dan melakukan interaksi seperti biasanya dan layaknya hubungan pada umunya. Perilaku ghosting memiliki maksud dan tujuan yang terkadang kurang baik sehingga hal ini akan memberikan stimulus kepada pasangan/seseorang yang di-ghosting berupa perasaan khawatir, sedih, marah dan kesal.

Perasaan yang timbul tersebut dapat kita generalisasi dalam suatu perasaan khusus yaitu perasaan terluka. Terluka tidak hanya terjadi secara fisik, namun terluka juga dapat dirasakan oleh seseorang secara mental dan tidak jarang pada kondisi tertentu perasaan terluka dapat menyebabkan seseorang menjadi depresi dan sulit untuk melakukan kegiatan sehari-hari.

Perasaan yang terluka secara tidak langsung akan memberikan stimulus kepada pikiran yang akan menyebabkan keadaan tubuh dan perasaan berubah menjadi tidak baik-baik saja. Perilaku ghosting ini menjadi penyebab gagalnya suatu individu untuk memahami bagaimana eksistensi tersebut bekerja. Seseorang yang menjadi korban dari sikap ghosting ini akan mempertanyakan eksistensi dirinya dan orang yang menjadi pelaku ghosting tersebut. Relasi yang terjadi antar manusia merupakan upaya-upaya yang dilakukan untuk keluar dari hegemoni agar menemukan esensi pada dirinya sendiri.

Upaya tersebut menjadi terhambat ketika ada seseorang di dalam suatu relasi menjadi hilang-datang atau bahkan tidak kembali lagi pada relasi tersebut tanpa alasan yang jelas. Ghosting menjadi fenomena yang sebenarnya tidak dapat dilegitimasi karena dapat menciptakan perangkap hegemoni baru untuk individu yang sedang mencari eksistensi dirinya. Kelelahan mental dan rasa sakit yang timbul dengan jangka waktu yang berdekatan, hanya akan membuat seseorang kehilangan esensi dirinya dan tergantung pada status yang tertinggal tadi. Esensi diri tersebut bisa saja mengalami pelemahan dan menghilang seiring perilaku ghosting tersebut terjadi secara intens.

Jika nilai-nilai dianggap sebagai hal yang sama dan terlalu luas cakupannya untuk diterapkan dalam kasus khusus dan konkret, kita tidak memiliki pilihan selain mengandalkan insting-insting kita (Jean-Paul Sartre, 2021).

Asumsi-asumsi terhadap perilaku ghosting memiliki makna dan maksud yang begitu luas. Sehingga korban dari perilaku ini tidak mudah untuk memaknai kejadian tersebut, kasus tersebut sering melibatkan perasaan berlebih dan rasa penasaran yang semakin besar. Esensi yang sudah ditemukan secara perlahan akan memudar seiring dengan pertanyaan yang tidak terjawab, hingga pada titik tertentu individu yang menjadi korban ghosting menjadi tidak percaya diri yang kemudian berdampak pada kehidupan sosialnya. Masalah ghosting dan rasa sakit yang timbul karenanya merupakan masalah klasik yang sering tejadi. Eksistensialisme berupaya untuk memberikan manusia makna-makna secara personal dan memperhatikan faktor yang dapat merusak seseorang dari eksistensi dan kehilangan esensi dirinya.

Sebagai individu yang humanis perilaku tersebut selayaknya tidak dilakukan dengan alasan apapun. Pemanfaatan bahasa dan juga komunikasi yang baik dalam suatu relasi merupakan bentuk pembebasan diri dari hegemoni yang berupaya untuk menekan eksistensi. Sehingga dengan menghindari perilaku ghosting dan memberikan pernyataan secara relevan kepada individu yang terlibat dalam suatu relasi, akan mempermudah setiap individu tersebut untuk tetap menjaga eksistensi mereka dan juga mencari esensi diri tanpa harus khawatir dengan rasa sakit yang dapat timbul dari perilaku ghosting.

Comments